Biografi Tgk.H.M.Ali Salwany
Mengenang Bapak Kami Tercinta Tgk.H.M.Ali Salwany
Tgk.Silang melihat bakat dan kecerdasan Ali semasa kecil, sehingga setelah
lulus dari sekolah Tarbiyah Islamiyah kebayakan tahun 1941, Tgk.Silang meminta
kepada orang tua Ali agar mengizinkan dan memberi restu untuk melepas Ali
merantau melanjutkan pendidikan tingkat Tsanawiyah ke luar kota, tepatnya di Sekolah Kuta Blang Samalanga yang terletak di Pantai Utara Aceh. Samalanga merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Bireuen yang mempunyai peranan penting dalam sejarah pendidikan Aceh. Memang bukan hal yang mudah melepas anak laki-laki satu-satunya di usianya yang masih belia sekitar 11 tahun dan bungsu pula, untuk pergi merantau jauh dari orang tua,
namun karena harapan dan kasih sayang yang besar, orang tua Ali tiada ragu
melepasnya, beberapa hasil pertanian dan kerbaupun dijual untuk bekal dan biaya
melanjutkan sekolah, mereka ingin Ali mendalami pelajaran ilmu agama, agar kelak
dapat menjadi Ulama.
Setelah beberapa waktu menjalani pendidikan di Sekolah Kuta Blang, Ali kemudian pindah ke Madrasah al-Muslim di kecamatan Peusangan kabupaten Bireuen, tempat gurunya yakni Tgk.Rahman pernah belajar.[2] Setelah menjalani pendidikan sekitar 8 tahun di Samalanga dan Peusangan Aceh, tepatnya pada tahun 1949, Ali tiba di Padang untuk kemudian melanjutkan pendidikan belajar dengan K.H Sirajuddin Abbas pada sekolah Kuliah Syari’ah, beliau merupakan ulama yang kukuh mengajarkan faham syafi’i baik melalui pendidian, keagamaan maupun politik. Setelah lima tahun belajar dengan K.H Sirajuddin Abbas, tahun 1954 Ali pindah ke Perguruan Tinggi Islam Darul Hikmah, sekolah lanjutan yang letaknya tidak jauh dari Bukit Tinggi sekitar setahun setelah didirikannya sekolah itu.[3] Masa itu juga tepatnya tahun 1957 Ali mempersunting Syafi’ah Thahar seorang gadis Minang. Sayangnya, Ali yang telah mengikuti pendidikan selama kurang lebih empat tahun, tidak dapat menyelesaikan studinya disini disebabkan terjadinya pemberontakan PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958, sehingga pembelajaran di Perguruan Tinggi Islam Darul Hikmah pun terpaksa dihentikan, dan Ali memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Aceh Tengah serta mendirikan sekolah dengan mengambil model Kuliah Syari’ah Sumatera Barat.
Selama di Sumatera Barat, selain belajar, Ali juga pernah mengabdikan diri mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiah Candung, sekaligus menjadi murid dari Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Candung), Ali memiliki kedekatan personal dengan sang guru, diusia guru yang sudah tidak muda lagi, Ali secara sukarela sering mendampingi dan membawakan tas sang guru pada waktu-waktu Inyiak Candung akan dan telah memberi pengajaran, hal itu berlangsung beberapa tahun lamanya, saat itu usia Ali berkisar 19-24 tahun sedangkan Inyiak Candung berusia sekitar 78-83 tahun. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah ulama yang memprakarsai dan menjadi pimpinan pertama PERTI di Sumatera Barat[4] dengan slogan ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan berpegang pada mazhab Syafi’iyah. Ia tergolong kepada kelompok ulama tradisional, demikian juga dengan salah seorang muridnya yang cukup tersohor di Indonesia yakni K.H Sirajuddin Abbas, sebagaimana gurunya ia pun memiliki corak pemikiran tradisional. Kedua ulama tradisional tersebut merupakan guru dari Tgk.M.Ali Salwany, sehingga wajar saja bila ia pun memiliki corak pemikiran yang searah dengan guru-gurunya. Corak inilah yang kemudian dibawanya ke Takengon (saat ini kab.Aceh tengah dan kab.Bener Meriah). Namun tidak sepenuhnya berpaham tradisionalis, John R.Bowen menyebut Ali sebagai ulama Tradisionalis yang moderat.
Sesampainya di Takengon, meski diusia yang tergolong masih muda (28 tahun), Tgk.M.Ali Salwany terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, bekal ilmu agama yang diperoleh selama dirantau menjadikan beliau semakin mudah diterima dilingkungan masyarakat Gayo saat itu, beliau menjadi bagian dari ulama di Aceh Tengah. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kegiatan keagamaan yang diikutinya. Tanggal 30-31 Juli 1962 Tgk.M.Ali Salwany dilibatkan dalam Musyawarah Ulama yang melibatkan Ulama sekewedanan Takengon, dengan agenda pemeliharaan keamanan dan kedamaian Aceh. Ada tiga keputusan yang berhasil dicetuskan dalam pertemuan ini, yaitu: Pertama, meningkatkan pelaksanaan ajaran Islam dan melaksanakan pembangunan dari kehancuran. Kedua,membangun dayah sebagai lembaga Pendidikan Islam. Ketiga, membentuk persatuan ulama kewedanan Takengon, dengan susunan pengurus periode 1962-1965 ; Tgk Abd Jalil (Ketua), Tgk.Mohd.Ali Djadun ( Wakil ketua), dan Tgk.M.Ali Salwany (Sekretaris).[5] Majelis Ulama Indonesia di Aceh (saat ini namanya Majelis Permusyawaratan Ulama ) berawal dari Persatuan Alim Ulama Kewedanan Takengon, dan sejak keberadaannya, Tgk.M.Ali Salwany telah berkiprah sekitar 40 tahun, diantaranya menjabat sebagai Pimpinan (Ketua MUI) selama 22 tahun. Beliau juga yang mengusulkan penamaan Masjid Raya Takengon dengan nama ‘Ruhama’.
Minat Tgk.M.Ali
Salwany terhadap Pendidikan cukup tinggi, diusia sekitar 40 tahun tepatnya
tanggal 11 maret 1970, Ia kembali melanjutkan pendidikan pada Universitas
al-Washliyah cabang Takengon di Fakultas Hukum tingkat Propadeuse
(dasar)[6],
Disamping itu, Tgk.M.Ali Salwany juga aktif dalam perpolitikan, pernah menjadi
anggota DPRD provinsi Aceh sebanyak dua
periode, yaitu : periode 1971-1976, dan periode 1977-1981 dari Partai Persatuan Pembangunan.
Dalam kehidupan rumah tangganya, Tanggal 31 oktober 1974 merupakan masa duka bagi Tgk.M.Ali Salwany, sebab wafatnya pendamping hidup dan meninggalkan lima anak yang masih kecil. Beberapa waktu kemudian, dengan berbagai pertimbangan matang, Tgk.Ilyas Leube yang sudah dianggap sebagai abang bagi Tgk.M.Ali Salwany, atas kesepakatan mereka, pergi menemui adik kandung dari almh.Syafi’ah Thahar yang bernama Zaharni Thahar, sang adik pada saat itu berdomisili di Jakarta. Sepucuk surat dari Tgk.M.Ali Salwany di serahkan oleh Tgk.Ilyas Leube pada Zaharni, berisikan permintaan kesediaan sang adik untuk menjadi ibu sambung bagi anak-anaknya. Setelah melalui pertimbangan yang matang pula, Zaharni pun menerimanya, sehingga tahun 1975 Tgk.M.Ali Salwany mempersunting Zaharni dan dengannya dikaruniai empat orang anak.
Tahun 2000 selagi Tgk.M.Ali Salwany menjabat sebagai ketua umum MUI kabupaten Aceh Tengah, dengan berat hati meninggalkan kota kelahirannya itu, dikarenakan terjadinya pergolakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga kondisi keamanan Aceh pada umumnya tidak dalam kondisi stabil. Maka berdasarkan berbagai pertimbangan dan saran dari keluarga, serta beberapa rekannya termasuk Bupati Aceh Tengah saat itu, Tgk.M.Ali Salwany memutuskan untuk hijrah sementara ke Padang Sumatera Barat. Setahun kemudian tepatnya tahun 2001, Tgk.M.Ali Salwany merintis mendirikan Majelis Ta'lim dan Taman Pendidikan al-Qur'an (TPA) di daerah Tunggul Hitam kota Padang, yang sampai saat ini berkembang semakin pesat, dibawah naungan Yayasan yang kemudian hari oleh keluarganya diberi nama Yayasan As-Salwa, terinspirasi dari nama Tgk.M.Ali Salwany.
Hari Sabtu dini hari, pukul 01.15 WIB. tanggal 13 Desember 2003 Bertepatan dengan 19 syawal 1424 H. Tgk.M.Ali Salwany wafat pada usia 73 tahun di kediamannya, di Padang Sumatera Barat. Paginya prosesi Jenazah dilakukan, dilepas oleh Buya Syamsul Bahri Khatib ( saat itu beliau adalah ketua MUI Provinsi Sumatera Barat), dishalatkan di masjid al-Hijrah Rawang Panjang dan kemudian dimakamkan di Perkuburan Umum Tunggul Hitam, Padang. Berita duka ini disampaikan oleh ahli Bait pada sanak saudara dan handai taulan di Gayo, shalat ghaib pun dilaksanakan di Masjid Raya Ruhama Takengon, tempat Tgk.M.Ali Salwany menghabiskan banyak waktunya dulu disana. Dikarenakan jumlah jama'ah yang cukup banyak memadati ruang utama masjid, shalatpun dilakukan sebanyak dua gelombang. Allahumaghfirlahu...
Catt: Deskripsi biografi tersebut diambil dari berbagai sumber: Data dari MUI kab.Aceh Tengah, wawancara dengan para saksi, berbagai link internet, Buku-buku dan termasuk dari catatan harian Tgk.M.Ali Salwany.
[1] Nama asli
Tgk. Silang adalah Ahmad Damanhuri pelopor di Gayo mempelajari
buku-buku Arab, sebelumnya masyarakat Gayo mempelajari buku-buku Jawi. Sekitar
tahun 1926 Tgk. Silang pergi ke Bireuen untuk belajar di Perguruan Islam
dibawah pimpinan Haji Mustafa, selanjutnya ia melanjutkan belajar ke Langsa
pada seorang guru yang berasal dari Minangkabau, yang kemudian mengirimnya ke
Candung Sumatera Barat sekitar tahun 1930. Disana ia belajar dengan Syeikh
Sulaiman al-Rasuli selama tiga tahun. Tengku Silang berkeinginan kuat
untuk melanjutkkan studinya di Pulo
Kiton Bireuen, namun tengku Pulo Kiton menyarankan agar ia kembali saja ke
kampung halamannya, karena ia dianggap telah memiliki ilmu yang cukup,
pernyataan ini dilontarkan oleh tengku Pulo Kiton setelah Tgk.Silang mampu
menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh Tgk.Pulo Kiton. Maka pada tahun
1934 Tengku Silang kembali ke Kebayakan dan tahun berikutnya (1935) ia
mendirikan Sekolah Tarbiyah Islamiyah. terdiri dari satu kelas dan sarana bangkupun di buat
dengan segala keterbatasannya. Pada
tahun 1939 ia mengubah sekolah itu ke
bentuk meunasah di Batin yang berada disekitar lingkungan rumahnya di
Kebayakan. Pada tahun yang sama sekolah itu terbakar, akan tetapi penguasa
daerah yang bernama Ampun (Kejurun) Zainuddin, memberinya uang untuk membangun
meunasah dan sekolah yang baru yang kemudian disebut dengan Mersah Atu (Stone
Prayer House), dibuka pada tahun 1940. Tengku Silang kemudian membuka
cabang dari sekolahnya di Bebesen dan Tritit, semuanya disebut dengan Sekolah
Tarbiyah Islamiyah. Tengku Silang wafat pada bulan Juni 1942. Tgk. Rahman
adalah murid dan asisten dari Tgk.Silang, ia mengambil alih kepemimpinan
pada Sekolah yang berada di Kebayakan dan mengajar disana hingga tahun
1946.
[2] Al-Muslim adalah salah
satu dari sekolah agama progressive yang muncul di Aceh di bawah naungan para
penguasa setempat. Madrasah Al-Muslim Peusangan diresmikan berdiri pada tanggal
13 April 1930, sebelumnya dibentuk organisasi Al-Muslim yang diketuai oleh
ulama terkenal didaerah itu, yaitu Tgk.Abdur Rahman Meunasah Meucap, yang ikut
dibantu oleh Uleebalang setempat T.Chiek Peusangan. Madrasah
Al-Muslim ini dapat disebut sebagai salah satu madrasah yang ternama di Aceh,
dan merupakan tempat munculnya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
[3] Perguruan Islam Tinggi
Darul Hikmah didirikan di Bukittinggi oleh Yayasan Darul Hikmah yang dipimpin
oleh Ustadz Nazharuddin Thaha pada tanggal 27 Rajab 1373 H atau tahun 1953
dengan Dekan pertamanya adalah Sjech Ibrahim Musa Parabek. Kampus
perguruan tinggi ini semula berlokasi di Garegeh (Ex SD 17 atau SD 04
Sekarang). Dan pada tanggal 1 Agustus 1956 Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah
ini dipindahkan dari Garegeh ke Padang Luar (terletak di sebelah kanan jalan
Raya Bukittinggi – Padang atau sebelum SMP Standar Padang Luar). Perguruan
Islam Tinggi Darul Hikmah berkembang menjadi Universitas Islam Darul Hikmah
yang diresmikan oleh Menteri Agama RI KH Ilyas pada tanggal 18 Rabiul Awal 1377
H atau tanggal 12 Oktober 1957, bertempat di Gedung olahraga Polisi (Belakang
SMU 2 sekarang) dengan presiden/rektor pertamanya Sjech Ibrahim Musa Parabek.
Universitas ini merupakan Universitas Islam pertama di Sumatera Tengah
(Sumatera Barat, Riau dan Jambi). Universitas Islam Darul Hikmah di Bukittinggi
terpaksa menghentikan kegiatannya semenjak hari Minggu tanggal 4 Mei 1958,
karena pada hari itu tentara Pusat (APRI) memasuki kota Bukittinggi dalam
rangka membebaskan Sumatera Tengah dari pergolakan daerah. Sejak hari itu
Gedung perkuliahan di Padang Luar yang ditempati semenjak tanggal 1 Agustus
1956 ditutup. Demikian pula keadaaannya pada Fakultas-Fakultas yang ada di
Payakumbuh, Padang panjang, Batusangkar, Solok dan Padang. Rektor yang mulia
Sjech Ibrahim Musa Parabek (Alm), para pembantu rektor, dan para pegawai
mengungsi. Sedangkan sebagian mahasiswa memanggul senjata dan bergabung dalam
Kompi Mawar menghadapi tentara APRI. Lihat:
http://fsyar.iainbukittinggi.ac.id
[4] Tahun 1928
ulama tradisional melihat aspek positif dari keberadaan sekolah-sekolah modern,
tentunya didahului oleh semakin berkurangnya minat masyarakat terhadap surau,
dan adanya semacam himbauan dari kelompok pembaharu agar ulama tradisi
mengikuti apa yang telah mereka lakukan. Penerimaan kalangan tradisional
terhadap perubahan ditandai dengan berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah pada
tanggal 5 Mei 1928. Ide dasarnya adalah untuk mengkoordinir sekolah-sekolah
tradisional dalam satu payung. Organisasi ini menjadi cikal bakal berdirinya
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan di Candung dua tahun
setelah itu. Lihat : Murni Djamal, Dr.H.Abdul Karim Amrullah, Pengaruhnya
Dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada awal abad ke XX, (Leiden-Jakarta: INIS,2002), hlm.70 dalam Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi
Intelektual…,hlm.113
[5] Berdasarkan hasil musyawarah ulama sekewedanan Takengon tahun 1962, didirikanlah lembaga pendidikan Islam, yang diberi nama Dayah Tinggi Tengku Tapa Takengon. Dayah ini dibentuk untuk kaderisasi ulama dari seluruh wilayah Aceh Tengah yang dididik dan selanjutnya di kembalikan ke kampungnya masing-masing untuk mengamalkan dan mengaplikasikan ilmu keagamaan yang telah diperoleh. Kini, beberapa alumni Dayah tersebut telah berhasil mengaplikasikan ilmunya di desanya masing-masing, bahkan ada yang telah berhasil mendirikan pesantren seperti pesantren di Kute Kering. Dayah tinggi Tengku Tapa Takengon mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah pusat, terbukti dengan diserahkannya mobil operasional Dayah sejenis L300 yang dikelola langsung oleh Bapak. Penyerahan mobil operasional Dayah tinggi Tengku Tapa takengon oleh Menteri Koperasi Indonesia sekaligus Kepala Badan Urusan Logistik ke-1, yakni Bustanil Arifin, di Boom Takengon. Kedatangan Bustanil Arifin beserta rombongan disambut para ulama Aceh Tengah saat itu, diantaranya Tgk.M.Ali Salwany, Tgk.Ali Djadun, Tgk.Matdinpas, Tgk.Mukhlis Asir-asir dan Tgk.Sultan Amin Teritit. Tidak kurang dari empat puluh pemuda/pemudi dari beberapa desa di Aceh tengah dipilih untuk menjadi santri di Dayah ini, dan diasramakan tanpa dipungut bayaran. Saat itu, santri laki-laki berasrama di RS Takengon (saat ini gedung STAIN Gajah putih) dan santri perempuan berasrama di rumah Tgk.M.Ali Salwany. Pada awal berdirinya, Dayah tersebut tidak memiliki gedung sendiri sehingga meminjam ruang kelas di lokasi MIN 1 Takengon. Setelah beberapa waktu, Dayah dipindahkan ke ujung Gergung, dan sayangnya Dayah ini mesti ditutup pada bulan juni 1988 sebab kurangnya anggaran. Mobil operasional tetap digunakan untuk kepentingan Majelis Ulama Indonesia kabupaten Aceh Tengah yang saat itu belum memiliki mobil operasional (Bapak pada waktu itu menjabat sebagai Ketua MUI), dan tahun 1990-an, mobilpun diserahkan untuk kepentingan operasional Masjid Raya Ruhama Takengon.
[6] Sepulang dari Sumatera Barat, bersama dengan dua rekannya di Takengon, Tgk.M.Ali Salwany mendirikan al-Jammiyat al-Washliyah cabang Takengon. Pada tahun-tahun awal berdirinya belum begitu stabil, terdiri dari tiga madrasah dan pada tahun 1970 didirikan sebuah universitas. Universitas ini berlangsung selama lima tahun dan mewisudakan sebanyak 19 mahasiswa. Di Universitas ini juga Tgk.M.Ali Salwany melanjutkan kembali kuliahnya yang sempat terhenti karena peristiwa pemberontakan di Sumatera Barat. Seluruh madrasah ini ditutup pada tahun 1980, ketika keluar ketentuan bentuk standar tingkat SMA. Era tahun 1970 an adalah periode dimana siswa diseluruh wilayah Indonesia mengalami perubahan sistem dari Sekolah Islam kepada Sekolah Negeri. Al-Jami’atul washliyah saat itu berhenti dan dibentuk kegiatan lain seperti Studi al-Qur’an yang diadakan dirumah-rumah, kuliah umum (dakwah), serta berbagai bentuk diskusi keagamaan informal lainnya. Lihat: John.R.Bowen, Muslims Through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society, hlm. 53-54.
Komentar
Posting Komentar